Dampak dari Krisis Keuangan Global
Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokan sejumlah lembaga keuangan AS. Pemain-pemain utama Wall Street berguguran, termasuk Lehman Brothers dan Washington mutual, dua bank terbesar di AS.para investor mulai kehilangan keprcayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama duniapun rontok. Kelesuan ekonomi AS tersebut diperparah melambungnya harga minyak dunia hinga menyentuh harga 105 dolar AS perbarel yang memberi kontribusi terhadap tekanan terhadap perekonomian negeri paman sam tersebut.
Kondisi internal dan eksternal AS yang kurang kondusif menggiring melemahnya nilai tukar dolar AS terhadap euro dan yen sehingga memicu kenaikan harga komoditas internasional seperti minyak, batu bara, gas alam, dan emas. Ketergantungan industri AS akan minyak masih dominan sehingga menambah deret keterpurukan ekonomi AS. Konsekuensi dari peristiwa tersebut berdampak pada stagflasi dimana akan terjadi percepatan laju inflasi global yang mendorong perlambatan ekonomi.
Sederet bank di Eropa juga telah menjadi korban, sehingga pemerintah di Eropa harus turun tangan menolong dan mengatasi masalah perbankan mereka. Pemerintah Belgia, Luksemburg, dan Belanda menstabilkan Fortis Group dengan menyediakan modal 11,2 miliar euro atau sekitar Rp155,8 triliun untuk meningkatkan solvabilitas dan likuiditasnya. Fortis, bank terbesar kedua di Belandadan perusahaan swasta terbesar di Belgia, memiliki 85,000 pegawai di seluruh dunia dan beroprasi di 31 negara, termasuk Indonesia. Ketiga pemeritah itu memiliki 49 % saham Fortis. Fortis akan menjual kepemilikannya di ABN AMRO yang di belinya tahun lalu kepada pesaingnya, ING.
Pemerintah Jerman dan konsorsium perbankan, juga berupaya menyalamatkan bank Hypo Real Estate, bank terbesar pemberi kredit kepemilikan rumah di Jerman. Pemerintah Jeman menyiapkan dana 35 miliar euro atau sekitar Rp 486, 4 triliun berupa garansi kredit.
Ingris juga tak kalah sibuk. Kementrian keuangan Inggris, menasionalisasi bank penyedia KPR, Bradford dan Bingley, dengan menyuntikan 50 miliar poundsterling atau Rp.864 triliun. Pemerintah juga harus membayar 18 miliar poundsterling untuk memfasilitasi penjualan jaringan cabang Bradford & Bingley kepada santender, bank spanyol yang merupakan bank terbesar kedua di Eropa.
Bradford dan Bingley merupakan bank Inggris ketiga yang terkena dampak krisis financial AS setelah Northern Rock dinasionalisasi februari lalu dan HBOS yang dilego pemiliknya kepada Lloyds TSB group.
Sejak kejatuhan Lehman Brothers pada pertengahan September, banyak bank di dunia yang diserbu nasabah. Akibatnya, banyak bank mengalami kesulitan likuiditas. Dalam perkembangan terakhir, terjadi serentetan aksi jual saham di bursa global. Terjadi pula krisis kucuran kredit dan pinjaman antar-bank yang memaacetkan transaksi bisnis global.
Fasilitas pinjaman antar-bank didunia kering. Suku bunga libor (The London Interbank offered Rate) pada 3 Oktober 2008 mencapai 5,33 % untuk pinjaman uang antarbank dengan jangka waktu 3 bulan. Ini tingkat libor tertinggi sepanjang sejarah, sebagaimana diutarakan Asosiasi perbankan Inggris.
Paket dana penyelamatan setor keuangan AS 700 miliar AS gagal menenangkan gejolak di pasar financial. Para pelaku pasar menilai paket bailout ke sektor keuangan AS tersebut tidak cukup. Korporasi AS butuh lebih besar lagi, karena sudah terjebak utang-utang beracun (toxic debt).
Upaya pengguyuran dana kepasar oleh sejumlah bank sentral tak mampu meredakan kegelisahan pasar. Kejatuhan juga terjadi setelah bank sentral AS menjanjikan akan membeli surat berharga berjangka pendek senilai 900 miliar dolar AS dari pasar. Indeks saham di berbagai bursa malah terus berjatuhan.
Dari Wall Street, Frankfurt, Paris, Hpng Kong, Tokyo, hingga Singapura, para investor mencampakan saham-sahamnya. Panurunan suku bunga oleh beberapa bank sentral secara terkoordinasi, hanya berhasil meredakan kepanikan di bursa saham sesaat. Investor khawatir otoritas taklagi berdaya menghentikan krisis terbesar global sejak depresi besar 1929 di AS.
Kepanikan investor duniapun makin parah. Bursa saham terjun bebas. Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, Indonesia 41%, (sebelum kegiatannya dihentikan sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang Negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para speculator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Kecemasan mengenai resesi global membuat harga saham di Eropa dan Asia anjlok hari jumat lalu (10/10/08). Indeks saham di London, Paris dan Frankfurt semua turun 10% pada pembukaan pasar. Harga saham di pasar juga turun semua, dengan indeks Nikkei di Jepang turun hampir 10 %, yang terbesar sejak tahun 1987.
Harga saham di Filipina dan Australiapun turun lebih dari 8 %. Di Sanghai, harga saham turun 4 % sementara di Hong Kong turun 7%. Penjualan saham besar-besaran terus berlanjut sejak hari Kamis (09/10/08) di New York.
Selain itu, indeks rata-rata saham Dow jones di New York turun 7%, anjlok dari 678,91 poin menjadi 8.579,19 poin, ditutup dibawah 9000 poin, merupakan pertama kalinya sejak tahun 2003.
Negara-negara kaya diluar G-8 kini memilliki perusahaan khusus pengelola dana investasi milik Negara bernilai ratusan miliar dolar AS. Disamping Negara-negara itu, ada juga Meksiko yang menjadi kekuatan baru di Amerika Latin. Juga ada Afrika Selatan, Negara raksasa ekonomi untuk ukuran Benua Afrika.
Dalam kesimpulan pertemuan menkeu G-7, ad alma rencana yang akan diluncurkan untuk meredakan kepanikan pasar, yaitu melindungi bank besar dari kebangkrutan, memperbesar aliran kredit, menaikan modal bank, melindungi simpanan nasabah dan menghidupkan badan pembiayaan perumahan. Presiden Bush juga berjanji akan merangkul kelompok 20 negara atau G-20 utnuk bersama-sama mengatasi krisis.
Pertemuan 16 gubernur bank sentral se-Asia Pasifik yang tergabung dalam South East Asia Central Bank (Seacen) yang berlangsung di Jakarta Sabtu (22/3) merupakan sinergi positif membangun kepercayan pasar dalam menghadapi perlambatan ekonomi global karena krisis yang terjadi di Amerika. AS yang notabene sebagai kiblat ekonomi akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan bagi sirkulasi perekonomian dunia.
Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, Freddie Mac, dan Fannie Mae, sebagai lembaga financial raksasa AS, selamat menghadapi resesi ekonomi AS paska serangan teroris tahun 2001. mereka selamat menghadapi resesi ekonomi dunia akibat embargo minyak OPEC tahun 1973 dan selamat menghadapi dua perang dunia. Mereka juga selamat menghadapi resesi ekonomi dunia tahun 1930-an yang sering disebut “the great depression”, akibat krisis keuangan AS pada 1929.Namun, mereka tidak selamat menghadapi krisis kredit penbelian rumah (KPR) subprime di AS pada 2007/2008. Artinya, terpuruknya beberapa lembaga keuangan terbesar dunia tersebut adalah indikasi bahwa permasalahan ekonomi AS dan dunia sekarang memang jauh lebih parah dari perkiraan kita sebelumnya.