Syarat Pokok Untuk Sahnya Perjanjian
Dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, ada 2 (dua) syarat pokok untuk sahnya perjanjian, yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif. Untuk memenuhi syarat subyektif, selain harus ada kesepakatan juga harus dilakukan oleh pihak yang cakap untuk bertindak dalam hukum. Perjanjian arbitrese juga harus dibuat oleh mereka yang dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian arbitrese, tidak dibatasi hanya oleh subyek hukum menurut hukum perdata melainkan juga subyek hukum publik. Namun demikian, meskipun subyek hukum publik dapat membuat perjanjian arbitrase, tidak berarti arbitrase dapat menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum publik. Jika dilihat dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 1999, maka jelas bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase bersifat terbatas.
Dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, ada 2 (dua) syarat pokok untuk sahnya perjanjian, yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif. Untuk memenuhi syarat subyektif, selain harus ada kesepakatan juga harus dilakukan oleh pihak yang cakap untuk bertindak dalam hukum. Perjanjian arbitrese juga harus dibuat oleh mereka yang dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian arbitrese, tidak dibatasi hanya oleh subyek hukum menurut hukum perdata melainkan juga subyek hukum publik. Namun demikian, meskipun subyek hukum publik dapat membuat perjanjian arbitrase, tidak berarti arbitrase dapat menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum publik. Jika dilihat dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 1999, maka jelas bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase bersifat terbatas.
Mengenai syarat obyektif dari perjanjian orbitrase, diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 1999. Menurut ketentuan tersebut, obyek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hal yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Tidak hanya penjelasan resmi mengenai apa yang di maksudkan dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 1999 tersebut. Namun. Jika di lihat pada penjelasan pasal 66 huruf b UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Di ketahui bahwa yang ruang lingkup hukum pedagangan adalah kegiatan-kegiatan :
1. Perniagaan ;
2. Perbankan ;
3. Keuangan ;
4. Penanaman modal ;
5. Industri ;
6. Hak kekayaan intelektual .
Hal berarti bahwa makna perdagangan sebagaimana didisebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 30 tahun 1999, seharusnya juga memiliki makna yang luas. Hal ini juga sejalan dengan dalam pasal 5 ayat (2) UU Nomor 30 tahun 1999, yang memberikan perumusan negatif, yaitu sangketa yang tida dapat diselesaikan melalui arbitrse adalah sangketa yang menurut peraturan peraundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Disamping harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif terhadap sahnya suatu perjanjian, UU Nomor 30 1999 Juga mensyahkan bahwa perjajian arbitrase harus di buat secara tertulius. Syarat turtulis dari perjajian arbitrase berwujud suatu kesempatan berupa klausal arbitrase yang tercantum dalam suatu perjajian tertulis yang di buat para pihak setelah timbul sengketa. Adanya perjajian arbitrase berarti menindakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sangketa atau beda pendapat yang dimulai dalam perjajian pokok ke pengadilan Negeri. Demikian juga berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjajian arbitrase.
Proses jalannya penyelesaian atau sangketa melalui arbitrase harus melalui suatu pemberitahuan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya dalam perjajian. Yaitu bahwa syarat-syarat pennyelesaian sangketa melalui arbitrase telah berlaku.
Melalui ketentuan pasal 8 ayat (1) UU Nomor 30 tahun 1999, pemberitahuan mengenai berlakunya syarat dan ketentuan arbitrase tersebut, harus dibuat secara tertulis disampaikan oleh salah satu pihak selaku pemohon arbitrase dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail , dan dan atau dengan buku ekspedisi kepada pihak lainnya sebagai termohon arbitrase.
Menurut pasal 8 ayat (2) UU Nomor 30 tahun 1999, surat pemberitahuan untuk mengadukan arbitrase tersebut harus memuat dengan jelas :
1. Nama dan alamat para pihak ;
2. Penunjukan kepada klausal atau perjanjian arbitrase yang berlaku ;
3. Perjanjian atau masalah yang menjadi senketa ;
4. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada ;
5. Cara penyelesaian yang dikehendaki ;
6. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbitrase atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbitrase yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Dalam hal para pihak pemilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut, harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang di tandatangani oleh para pihak, tetapi apabila para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis tersebut, maka perjanjian tertulis tersebut harus dibuat harus dibuat di buat dalam bentuk akta notaris. Hal ini di atur dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30 tahun 1999.
Selanjutnya, menurut pasal 9 ayat (3) UU Nomor 30 tahun 1999, perjanjian arbitrase harus memuat :
1. Masalah yang dipersengketakan ;
2. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak ;
3. Nama lengkap dan tempat tinggal arbitrase atau mejelis arbitrase ;
4. Tempat arbitrase atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan
5. Nama lengkap sekretaris ;
6. Jangka waktu penyelesaian sengketa ;
7. Pernyataan kesediaan dari arbitrase ;
8. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
Perjanjian arbitrase tertulis yang tidak memuat hal-hal diatas adalah batal demi hukum. Hal ini merupakan syarat objektif dari perjanjian arbitrase, sesuai yang telah ditentukan dalam pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 1999.